Home The Truth Hati-hati, Pernyataan Tentang Syiah Jadi FITNAH

Hati-hati, Pernyataan Tentang Syiah Jadi FITNAH

172
0

Berandaajaran syiahSyiah – Antara Fitnah dan Fakta. Inilah 14 Isu Kontroversi Tentang Islam Syiah
Syiah – Antara Fitnah dan Fakta. Inilah 14 Isu Kontroversi Tentang Islam Syiah

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Fitnah terhadap Syiah sudah berlangsung berabad-abad sejak wafatnya Rasulullah saw sampai hari ini. Syiah dituding kafir, sesat dan bukan bagian dari Islam.

Syiah dituduh menghalalkan zina dengan nikah mut’ah. Rukun iman dan rukun islamnya beda. Qur’an nya beda. Syahadatnya beda. Syiah juga dianggap mengkafirkan istri nabi dan para sahabat. Dan banyak lagi fitnah-fitnah lainnya.

Akibatnya, banyak orang salah paham tentang syiah, lalu membenci syiah dan menghalalkan darahnya. Ujung dari semua fitnah tsb adalah perang saudara, antara muslim sunni dengan syiah.

Inilah justru yang diinginkan oleh Amerika dan Israel … Yang rugi … ya umat Islam itu sendiri.

Jadi sebenarnya gimana?

Ini jawaban pendeknya. Syiah adalah bagian dari Islam.

Inilah keputusan konferensi internasional para ulama Islam se-dunia yang diadakan di Amman, Yordania, pada tanggal 4 – 6 Juli 2005 M.

Dalam resolusi itu dikatakan bahwa Mazhab Syiah diakui sebagai salah satu dari 8 madzhab dalam Islam, sehingga tidak boleh dikafirkan.

Resolusi ini dikeluarkan di Jordania atas prakarsa Raja Abdullah II, ditandatangani oleh kurang lebih 500 ulama terkemuka dari 50 negara termasuk Indonesia, dan diadopsi oleh 6 dewan ulama islam internasional pada sidang Organisasi Konferensi Islam di Mekah pada bulan Juli 2006.

Ulama Indonesia yang ikut menandatangani risalah amman tsb adalah Maftuh Basyuni (Menag RI pada saat itu), Ketum PB NU Hasyim Muzadi, dan Ketum Muhammadiyyah Din Syamsuddin.

Selanjutnya … orang-orang Syiah itu juga bersyahadat, meyakini Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, sama seperti Sunni. Bukankah SYAHADAT adalah batas minimal seseorang dianggap sebagai Islam (muslim)?

Selain itu, muslim syiah juga tiap hari melakukan shalat 5 waktu (subuh zuhur ashar maghrib dan isya), berpuasa di bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan melaksanakan Haji … sama persis dengan kaum muslimin lainnya.

Alqur’an nya juga sama persis dengan quran yang digunakan muslim sunni (bukan seperti fitnah yang digembar-gemborkan itu). Bahkan Iran sering mengadakan MTQ Internasional yang dihadiri oleh seluruh dunia Islam. Jelas alquran nya sama.

Sekedar fakta tambahan saja, sekitar 15 persen warga Arab Saudi adalah penganut mazhab Syiah. Dan muslim Syiah dari Saudi tsb juga dibolehkan melaksanakan haji. Jadi, juga diakui oleh pemerintah Saudi bahwa mereka itu muslim. Begitu juga muslim syiah dari Iran, setiap tahun pun melaksanakan Haji.

Jadi apa alasannya syiah disebut bukan bagian dari Islam? Iya ‘kan?

Tulisan ringkasan ini dibuat dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman masyarakat luas tentang Mazhab Syiah yang sering sekali difitnah sebagai agama di luar Islam. Persepsi ini timbul karena ketidaktahuan atas hal-hal yang dianggap kontroversial dan berbeda dengan keyakinan mayoritas umat Islam.

Apa Itu Syi’ah dan Mengapa Orang Memilih Syi’ah
Dalam shalat, kita selalu berdoa: Ihdinaa Siraatal Mustaqiim, yang artinya Tunjukilah kami Jalan yang Lurus. Yaitu jalan yang tidak mungkin salah, tidak mungkin menyesatkan, dan bukan pula jalan dimurkai Allah swt.

Artinya jalan yang lurus itu adalah jalan yang benar-benar suci, terbebas dari kesalahan, sesedikit apapun. Agar jalan yang lurus itu selalu terjaga dari noda dan kesalahan, pasti harus ada orang yang menjaganya, yang tentu saja dia juga harus suci dari kesalahan dan dosa (makshum). Setelah Rasulullah SAW wafat, tetap harus ada … dan mereka bukan ditunjuk oleh manusia (lewat jalan apapun), melainkan melalui perintah Allah swt. Mereka inilah, menurut keyakinan Syiah, para Imam Ahlul Bait as yang totalnya berjumlah 12 imam, dimulai dari Imam pertama yaitu Imam Ali bin Abi Thalib dan terakhir Imam Mahdi as.

Karena itu bagi umat Islam Syiah, mereka berkeyakinan bahwa Allah swt dan Rasulullah saw telah menunjuk Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai imam, sebagai pemimpin orang-orang beriman.

Mungkin ada sebagian orang yang menyayangkan mengapa masih meributkan peristiwa yang sudah lama yang tak bisa berubah, yaitu perselisihan siapa khalifah yang sah, antara Abu Bakar ataukah Ali bin Abi Thalib. Bukankah itu sudah lama. Mengapa kita harus bertengkar oleh hal yang sudah tak bisa diubah lagi?

Ya itu betul … tapi yang tidak disadari atau kurang dipahami oleh mereka, karena yang dilihat adalah jabatan khalifah nya, yang secara lahiriah bersifat urusan-urusan dunia, urusan politik, militer, dan kemasyarakatan. Padahal penunjukan Imam Ali as sebagai IMAM memiliki tugas yang jauh lebih besar, yaitu urusan-urusan spiritual, keagamaan, disamping urusan sosial politik kemasyarakatan.

Jadi sekalipun dalam faktanya, Abu Bakar memegang jabatan khalifah, bukan berarti keimamahan Imam Ali as menjadi batal. Imam Ali as tetap menjadi Imam, yang menjaga agama Islam dan umat Islam tetap pada rel yang semestinya. Ya memang, tugas ini menjadi jauh lebih sulit, karena Imam Ali as tidak sekaligus merangkap sebagai khalifah.

Jadi secara sederhananya, orang yang disebut pengikut Syi’ah adalah mereka yg “berwilayah kepada Imam Ali bin Abi Thalib as dan 11 Imam as lainnya “; yaitu yang menjadikan mereka (para aimmah as tsb) sebagai Wali/Pemimpin/Maula baik untuk urusan dunia ataupun akhirat.

Bagi kaum syiah, ini termasuk soal agama (ushuluddin). Bukan soal jabatan kekhalifahan dunia. Karena konsekuensinya akan terkait dengan apakah masih berada/mengikuti ajaran Islam dengan benar. Pengikut syiah akan mengambil rujukan dalam berbagai persoalan aqidah, fiqih ibadah, muamalah, politik, dan sosial kemasyarakatan hanya kepada para Imam AhlulBayt Nabi as. Karena menurut keyakinannya, merekalah (para imam tsb) yang resmi ditunjuk oleh Allah dan Rasulnya sebagai washi dan penerus Rasulullah saww.

Jadi bukan soal siapa khalifah ala pemimpin negara atau masyarakat, tapi imamah disini terkait dengan kita ikut ajaran Qur’an dengan tafsir yang dijaga kebenarannya oleh “orang suci” (imam makshum as) ataukah kita mengikuti ajaran Qur’an melalui tafsir dari orang-orang yang tidak dijamin kesucian dan kebenarannya.

Apa Dalil dari Nya Bahwa Para Imam as Ditunjuk oleh Allah SWT
Di dalam Al-Qur’an, terdapat banyak sekali ayat yang menjelaskan dan menetapkan imâmah Imam Ali as dan para imam lainnya. Tentu saja, jangan berharap secara lahiriah akan menemukan nama-nama para imam dalam qur’an …. sebab Qur’an bicara global.

Seperti halnya dengan ayat-ayat topik lainnya, petunjuk itu harus dikaitkan dengan hadis-hadis mutawatir dari Rasulullah Saw, khususnya terkait sebab-sebab diwahyukan dan diturunkannya ayat-ayat tersebut. Seperti ayat tentang shalat misalnya, tak akan kita temukan detilnya dalam Qur’an, melainkan adanya dalam hadits Rasulullah saw.

1. Ayat Wilâyah:

نَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمْ رَٰكِعُونَ

“Sesungguhnya wali/pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk.” (Qs. Al-Maidah [5]:55)

Bagi yang paham bahasa Arab mungkin lebih mudah memahami ayat ini. Dalam ayat itu perhatikan kata ٱلَّذِينَ(yang merujuk ke seseorang/sesuatu) dan kata وَ (yang bermakna DAN atau sesuatu yang tidak terpisahkan)

Jadi, pemahaman atas ayat ini secara disederhanakan kurang lebih:

Sesungguhnya Wali/Pemimpin kamu hanyalah Allah + Rasulullah + Orang Yang beriman YANG mendirikan shalat DAN menunaikan zakat pada saat ia sedang ruku’.

Kebanyakan mufassirin (para penafsir) dan muhaddits (ahli hadis) berkata bahwa ayat ini diturunkan untuk Imam Ali bin Abi Thalib As.

Suyuti, salah seorang ulama terkemuka Ahlusunnah dalam kitab tafsirnya “al-Durr al-Mantsur” terkait dengan ayat ini menukil dari Ibnu Abbas bahwa “Tatkala Ali bin Abi Thalib dalam kondisi ruku’ datanglah seorang peminta-minta dan Ali bin Abi Thalib menyerahkan cincinnya kepada orang tersebut sebagai sedekah. Rasulullah Saw bertanya kepada peminta-minta itu, “siapakah gerangan yang telah menyedekahkan cincinnya kepadamu? Si peminta-minta itu menunjuk Baginda Ali As dan berkata: Orang itulah yang telah memberikanku sedekah ketika ia dalam keadaan ruku.” Kemudian pada saat itulah ayat ini turun.

Allamah Amini ra dalam kitabnya al-Ghadir, menukil bahwa riwayat-riwayat tentang turunnya ayat ini atas peristiwa Imam Ali as diatas ada kurang lebih 20 kitab standar Ahlusunnah dengan menyebutkan bukti-bukti dan sumber-sumbernya.

Pada ayat ini terlihat nyata sekali bahwa Wilâyah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sederetan dan sejajar dengan wilâyah Allah Swt dan Rasulullah Saw. Karena itu ketaatan kepada kepemimpinan/wilayah Imam Ali as, menjadi wajib.

2. Ayat Ulul Amri:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan Ulul amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.” (Qs. Al-Nisa [4]:59)

Secara berpikir pendek saja kita bisa memahami, makna ulul amri dalam ayat itu bukanlah siapapun yang jadi pemimpin kita, sebab kata وَ (yang bermakna DAN) yang ada dalam ayat itu memiliki derajat yang sama. Tidak mungkin ketaatan kita pada Allah dan Rasulullah, yang bersifat mutlak … juga diberlakukan kepada seseorang yang kebetulan jadi pemimpin kita.

Perintah WAJIB TAAT MUTLAK yang sama derajatnya sebagai taat pada Allah dan rasul tidak mungkin pada Ulul Amri sembarangan, pastilah hanya Ulul Amri yg Makshum. Sebagaimana Allah Swt dan Rasulullah Saw adalah makshum/suci. Dan sesuai dengan apa yang disampaikan dalam berbagai ayat dan riwayat, orang-orang yang mencapai derajat makshum itu hanyalah Imam Ali as dan para Imam AhlulBait as lainnya.

3. Ayat Tathir:

Menurut Al-Qur’an, yang mampu memahami dan menafsirkan Al-Quran 100% benar tanpa kesalahan sedikitpun hanyalah manusia suci (makhsum). Sedangkan tafsiran/pahaman manusia lain (ulama kaliber manapun), kebenarannya bersifat relatif (masih berpotensi salah).

Hal ini sesuai dengan nash al-Quran, yaitu dalam surat Al-Waqi’ah ayat 79:

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya (al-Quran) kecuali orang-orang yang disucikan.”

Arti kata “menyentuh” disini adalah makna simbolis. Bukan menyentuh/memegang kitab suci Al-Quran, namun harus dimaknai secara kontekstual yaitu yang mampu memahami dan menyentuh hakikat Al-Quran. Penjelasan detilnya, bisa baca pada artikel ini.

Dikatakan dalam ayat itu, bahwa yang bisa sampai pada hakikat makna hakiki Al-Quran itu adalah “orang-orang yang disucikan” (makshum). Siapa yg dimaksudkan oleh Allah swt sebagai orang-orang yang disucikan tersebut?

Orang-orang yang disucikan itu dijelaskan lagi oleh Allah swt dalam Surat Al-Ahzab 33:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“…Sesungguhnya Allah hanya ingin menghilangkan noda dari kamu, wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.”

Dalam kitab Sahih Muslim, bab Keutamaan-Keutamaan Ahlul Bait, diriwayatkan hadits asbabun nuzul ayat tsb, berasal dari Aisyah yang berkata,

“Rasulullah saw pergi ke luar rumah pagi-pagi sekali dengan mengenakan pakaian (yang tidak dijahit) yang bergambar. Lalu Hasan bin Ali datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu Husein datang, dan Rasulullah saw memasukkannya ke dalam pakaiannya; lalu datang Fatimah, dan Rasulullah saw pun memasukkannya dalam pakaiannya; berikutnya Ali juga datang, dan Rasulullah saw pun memasukkannya dalam pakaiannya; kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab : 33)

Dari hadits Rasulullah tsb, orang-orang yang disucikan (yang hidup pada waktu itu) meliputi Rasulullah saw, Imam Ali as, Sayyidah Fathimah sa, Imam Hasan as dan Imam Husain as.

4. Pelantikan Imam Ali as

Salah satu dalil yang sangat terkenal tentang penunjukan Imam Ali as sebagai Wali/Imam/Pemimpin adalah peristiwa pelantikan Imam Ali as sebagai Imam oleh Rasulullah saw pada haji wada (haji terakhir nabi) di Ghadir Khum di hadapan 120 ribu sahabat Nabi dari berbagai daerah.

Peristiwa itu terjadi ketika semua orang yang berhaji sudah pulang, lalu tiba-tiba Malaikat Jibril menurunkan perintah Allah swt:

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah : 67: 4)

Usai menerima perintah tsb, Nabi saww berhenti lalu memerintahkan semua rombongan untuk berhenti dan mendirikan kemah. Beliau saww juga memerintahkan semua orang yang telah telanjur jauh di depan untuk segera kembali, dan juga menunggu sampai para jemaah haji lain yang masih tertinggal di belakang tiba dan akhirnya berkumpullah semuanya. Saat itu jumlahnya mencapai sekitar 120 ribu orang.

Rasulullah saww menyuruh Salman ra membuat mimbar tinggi dari batu-batu dan pelana unta agar ia bisa menyampaikan khutbah. Rasulullah saw pun naik ke mimbar dan menyampaikan pidatonya, yang ringkasan isinya adalah sebagai berikut:

“Ketahuilah —wahai manusia— sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan Ali sebagai wali dan imam kamu, dan telah mewajibkan kepada setiap orang darimu untuk mentaatinya. Sah keputusan hukum yang diambilnya, dan berlaku kata-katanya. Terlaknat orang yang menentangnya, dan memperoleh rahmat orang yang mempercayainya.”

“Dengarlah dan patuhilah, sesungguhnya Allah adalah Tuhanmu dan Ali adalah pemimpinmu. Kemudian keimamahan dan kepemimpinan (berikutnya) ada pada keturunan yang berasal dari tulang sulbinya, sehingga tiba hari kiamat.”

“Sesungguhnya tidak ada yang halal kecuali apa yang telah dihalalkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah diharamkan oleh Allah, Rasul-Nya dan mereka.”

Setelah menyampaikan pidatonya, Nabi meminta Imam Ali naik ke mimbar dan mengangkat tangan Imam serta mengenalkan kepada umat Islam bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penggantinya. Nabi bersabda bahwa ketaatan kepada Ali bin Abi Thalib sama dengan ketaatan kepada beliau.

“Hendaknya yang hadir ini menyampaikan kepada yang tidak hadir, dan hendaknya orang tua menyampaikan kepada anak-anaknya!”

Hadis ini dikenal dengan nama Hadis Al-Ghadir. Derajat hadis ini adalah hadis yang paling mutawatir dan tidak ada satupun hadis Nabi saw yang melebihi kemutawatiran hadis ini.

Muhammad ibnu Jariir al-Thabari (wafat th 310 H), menulis kitab bernama al-Wilaayatu yang menulis thuruq atau jalan perawian hadits ini sebanyak 75 jalan/thuruq/shahabat (padahal mutawatir itu cukup 9 thuruq).
>> Silakan baca detil peristiwanya disini.

5. Hadits Tsaqalain

Rasulullah saaw berwasiat pada segenap umatnya untuk berpegang kepada dua hal yaitu Alquran dan Keluarga Suci (AhlulBait as) beliau:

“Aku tinggalkan padamu sesuatu yang jika kamu berpegang teguh kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan ‘ltrah Ahlul Baitku”.

Selengkapnya hadits ini bisa dilihat pada Kitab Sahih Muslim, juz 4, halaman 123, terbitan Dar al-Ma’arif Beirut – Lebanon.

Siapa Itrah AhlulBayt Nabi yang menyebabkan siapapun yang berpegang teguh padanya pasti tidak akan tersesat selama-lamanya? Jelas bukan semua keturunan Rasul. Tapi hanya manusia-manusia suci/makshum. Sebab jika diartikan itrah ahlul bayt itu kepada siapapun keturunan Nabi, tentu tidak masuk akal, akan terjamin pasti akan berada dalam kebenaran, sementara ia sendiri sangat mungkin berada dalam kesalahan dan dosa.

Yang paling masuk akal hanya berpegang teguh pada manusia suci/disucikan oleh Allah swt sebagaimana yang ditunjukkan oleh Allah swt dalam ayat:

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya.” (QS. Al-Ahzab : 33).

6. Hadits 12 Khalifah

Ada satu hadits yang sangat terkenal sekali di kalangan masyarakat, yaitu hadits 12 khalifah. Salah satu haditsnya sbb:

“Agama ini akan selalu tegak sampai ada bagi kalian 12 khalifah. Mereka semua disepakati oleh umat” (HR. Abu Dawud: 4279).

Dalam Shahih Muslim, hadits nomor 3393, dan Sunan Abi Daud, hadits nomor 4279, dan 4280, digunakan istilah khalifah untuk dua belas pemimpin ini. Sementara dalam Shahih al-Bukhari, nomor hadits 7222 memakai istilah Amir.

Di dalam Sahih Bukhari, hadits berasal dari Jabir: “Rasulullah saw bersabda, ‘Akan muncul sepeninggalku 12 orang amir/imam‘, kemudian Rasulullah saw mengatakan sesuatu yang aku tidak mendengarnya. Lalu saya menanyakan kepada ayah saya, ‘Apa yang dikatakannya?’ Ayah saya menjawab, ‘Semuanya dari bangsa Qureisy.’” (Sahih Bukhari, jilid 9, bab Istikhlaf, halaman 81)

Ada banyak sekali hadits Rasulullah saw yang menyatakan keberadaan 12 imam/pemimpin yang wajib ditaati kaum muslimin. Beberapa diantaranya termaktub dalam kitab-kitab hadits sahih rujukan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Salah satunya:
Jabir bin Abdillah berkata: ”ketika ayat 59 dari surat Nisa turun yang menegaskan ”taatilah Allah, dan taatilah rasul, dan para pemimin dari kalian” aku bertanya pada rasul SAWW:

“kami telah mengetahui Tuhan dan RasulNya, namun Ulil Amr yang wajib kita taati tersebut belum kami ketahui, siapakah gerangan mereka itu?

Beliau bersabda: ”merekalah penggantiku, para Imam dan pemimpin sepeninggalku. Yang pertama Ali, kemudian secara berurutan Hasan putra Ali, Husain putra Ali, Ali putra Al Husain, Muhammad putra Ali yang dalam Taurat dikenal dengan Baqirul Ulum, dan kamu pada suatu saat akan berjumpa dengannya, dan kapanpun kau menjumpainya sampaikanlah salamku padanya.

Kemudian setelahnya secara urut Ja’far putra Muhammad, Musa putra Ja’far, Ali putra Musa, Muhammad putra Ali, Ali putra Muhammad, Hasan putra Ali, dan kemudian putranya yang nama dan kunyahnya (panggilan) sama dengan ku. Tuhan akan menjadikannya pemimin bagi dunia, dan ia akan tersembunyi dari pandangan dan penglihatan, dan ia akan gaib lama sekali. Sampai suatu saat di mana hanya ada orang-orang yang memiliki keiman yang kokoh, yang teruji dan mendalam akan keyakinan terhadap kepemimpinannya. (Muntakhabul Atsar, halaman 101)

****

Demikian sekilas ringkasan tentang apa itu syiah dan beberapa dalil yang diyakini oleh umat Islam syiah. Bagi kalangan Syiah sendiri, tudingan apapun yang ditujukan kepada mereka, sesungguhnya bukan merupakan masalah, karena apapun yang ditudingkan umumnya berasal dari mereka yang belum memiliki pengetahuan yang benar tentang Syiah .

Namun demikian, syiah tetap memiliki kewajiban untuk menyampaikan info yang sebenarnya, terlepas dari apakah para pembaca dapat memahami dan atau menerimanya sebagai penjelasan yang sebenarnya mengenai Syiah, sebagaimana Rasulullah saww yang juga melakukan dakwahnya untuk menyampaikan kebenaran.

Tentunya adalah hak setiap orang untuk menerima atau tidak, dengan segala konsekuensinya, yang tentunya akan ia pertanggung jawabkan sendiri dihadapan Allah SWT nantinya.

14 FITNAH KONTROVERSIAL TENTANG SYIAH
Ada 14 isu-isu yang sering dipertanyakan tentang Syiah yang akan dijelaskan dalam ringkasan ini, antara lain: tentang Imamah, Ghadir Kum, Abdullah Bin Saba’, Rukun Iman, Rukun Islam, Syahadat, Al Qur’an, Hadits, Sahabat, Taqiyyah, Nikah Mut’ah, Asyura, Melukai diri sendiri dan tentang Syiah dan NKRI.

Ke 14 isu tersebut akan dijelaskan secara ringkas saja untuk mempermudah pemahaman secara umum. Bagi pembaca yang bermaksud untuk mengetahui lebih detilnya dapat mencari lebih mendalam dari berbagai sumber dalam kitab-kitab Syiah yang sudah banyak beredar, baik dalam bentuk buku maupun video, di toko-toko buku maupun secara on-line.

1. Tentang Syiah Yang Menghina Istri dan Sahabat Nabi

Memang ada segelintir kaum syiah takfiri yang suka menghina sahabat dan istri Nabi. Salah satunya yang sangat terkenal dan tersebar di berbagai video-video adalah dari syiah takfiri london, yang dipimpin oleh Yasir Al Habib, yang memang dipelihara dan dibiayai aktivitasnya oleh musuh-musuh Islam.

Aktivitas syiah takfiri inilah yang suka dimanfaatkan untuk memfitnah syiah, seolah semua kaum syiah seperti itu.

Padahal semua ulama syiah mengharamkan perbuatan menghina seperti itu. Sayyid Ali Khamenei, seorang pemimpin dan marja besar Syiah di Iran dalam fatwa nya menyebutkan, “Diharamkan menghina atau mencerca simbol-simbol (yang diagungkan) saudara-saudara kaum Sunni, termasuk istri Nabi. Pengharaman berlaku untuk seluruh istri para Nabi as, terutama istri Nabi Muhammad saww.”

Lalu juga fatwa dari marja besar Syiah di Irak, Sayyid Ali Sistani: “Perbuatan mencerca sahabat Nabi Muhammad saww bertentangan dengan ajaran ahlul bait”.

Lalu bagaimana sebenarnya pandangan syiah terhadap istri dan sahabat Nabi saww? Memang ada sedikit perbedaan pandangan antara sunni dengan syiah, tentang para sahabat Nabi, yaitu sbb:

Keyakinan sebagian muslim Sunni terkait para sahabat :

Seluruh sahabat adalah orang yang baik dan adil. Apapun yang mereka lakukan adalah benar, karena Allah sudah meridhoi mereka atas apa yang telah mereka lakukan untuk menegakkan Islam.
Apapun yang pernah terjadi diantara para sahabat (permusuhan, pertengkaran, pembunuhan) mka kita umat generasi setelahnya harus diam, tidak usah mengkritisinya.
Sedangkan Keyakinan Syiah Tentang Sahabat:

Menjadi orang baik adalah perjuangan seumur hidup. Bertemu Rasulullah saww, bahkan berjuang bersama beliau bukanlah jaminan bahwa seseorang akan tetap baik hingga akhir hayat.

Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib as, terjadi beberapa peperangan yang mana para sahabat Nabi saling berhadapan. Mereka berperang dan ribuan sahabat Nabi terbunuh dalam peperangan itu.

Lantas berdasarkan fakta itu, apakah bisa dikatakan semua sahabat itu pasti adil dan pasti semua benar? Padahal mereka saling memerangi? Itulah sebabnya, mengapa muslim syiah bersikap kritis terhadap sahabat. Sebab tidak semua sahabat pasti benar dan pasti adil.
Terkait berbagai pertikaian dan saling bunuh itu, Syiah meyakini bahwa sikap kritis harus dipelihara. Harus ditetapkah dan dijelaskan, siapa yang benar dan siapa yang salah di antara mereka.

lni bukan masalah menyimpan dendam kesumat, melainkan urusan siapa yang boleh dijadikan teladan bagi umat dan verifikasi hadis.

Ketika ada dua hadis saling bertentangan; yang satu diriwayatkan oleh Muawiyah dan yang satunya lagi diriwayatkan oleh Ali, kaum Syiah hanya akan menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ali.

Ketika ada dua cara pandang yang kontradiktif terkait satu masalah, yang satu pandangan versi Sahabat X, yang kedua pandangan versi Ali, orang Syiah memilih mengambil pandangan Ali.

Nah, apakah pendirian sikap Syiah yang tetap bersikap kritis atas peristiwa sejarah di masa lalu bisa dijadikan sebagai alasan untuk menyebutnya sebagai kelompok sesat? Apakah sikap Syiah yang lebih memilih riwayat dari Ali ketimbang Muawiyah disebut sebagai kesesatan? Bukankah dalam doktrin Sunni pun, sikap diam atas apa yang terjadi di antara para sahabat bukan bagian dari akidah?

Jadi inilah yang perlu dipahami oleh masyarakat luas, bahwa bersikap kritis (seperti sikap syiah) berbeda dengan mencerna/menghina.

Kaum muslim syiah bukan mencerca atau menghina sahabat nabi saww. Sebab dalam pandangan syiah juga, menghina manusia biasa saja sudah berdosa, apalagi menghina sahabat-sahabat Rasulullah saww.

2. Tentang Fitnah Bahwa Al-Quran Syiah Berbeda dengan Qur’an Sunni

Syiah juga sering dituding memiliki Al Qur’an yang berbeda. Tuduhan ini sebetulnya berlawanan dengan keyakinan umat Islam bahwa dalam Al Qur’an, Allah swt telah berjanji akan menjaga kemurnian AlQuran.

Dengan demikian, apabila umat lslam memang benar meyakini kebenaran Al Qur’an, maka seharusnya tudingan tersebut tidaklah patut.

Ada beberapa fakta yang perlu dijelaskan terkait tudingan ini sehingga seharusnya menjadi jelas bahwa tudingan tersebut sebenarnya tidak beralasan dan hanya merupakan prasangka buruk saja yang terus dihembus-hembuskan musuh-musuh Islam.

Semua Al Qur’an yang dicetak, beredar dan digunakan di kawasan Syiah manapun, sama persis dengan Al Qur’an yang dicetak dan beredar di Indonesia, Malaysia, Mesir, Arab Saudi dan dimanapun di dunia ini. Tidak ada satupun dan di negara manapun yang dapat menunjukkan dimana ada penerbit dan penjual AlQur’an syiah yang dikatakan berbeda tersebut.

Ada lebih dari 120 ulama Syiah yang menulis tafsir Al-Qur’an. Semua ayat-ayat yang ditafsirkan adalah sama dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dalam kitab kitab ulama Sunni.

Juga ada banyak sekali muslim Syiah yang menghapal seluruh 30 Juz dalam Al Qur’an dan ayat-ayat yang dihapal sama persis dengan ayat-ayat Al Qur’an dimanapun.

Para penghapal ini bahkan banyak yang masih berusia sangat muda dan bahkan dinyatakan sebagai pemenang dalam MTQ Internasional. Seperti misalnya Mahmoud Nouruzi dari Iran, adalah juara pertama untuk katagori Hifzhul Quran dalam MTQ Internasional III Indonesia, yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus – 3 September 2015.

Atau yang lainnya, Muhammad Husein Tabataba’i (lahir di Qom, Iran), yang pada usia 7 tahun telah mendapatkan gelar Doktor (tahun 1998) dari Hijaz Collage Islamic University, Inggris. Dia tidak hanya mampu menghafal seluruh isi al-Qur’an saja, tetapi juga mampu menerjemahkan arti dari setiap ayat ke dalam bahasa ibunya yaitu Persia, memahami makna ayat-ayat tersebut, dan bisa menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan sehari-hari, sehingga ia terkenal sebagai bocah ajaib, Doktor cilik hafal dan paham al-Qur’an.

Konferensi Persatuan Umat Islam yang dilangsungkan di Teheran pada tahun 1998 juga menghadirkan seorang anak perempuan yang dengan sangat fasih melantunkan ayat-ayat Al Quran yang sama persis dengan ayat-ayat Al Qur’an yang dihapalkan siapapun di seluruh dunia.

3. Tentang Pandangan Syiah Terhadap Kitab-Kitab Hadits

Tidak ada satupun kitab-kitab hadits atau kitab apapun yang diyakini Syiah sebagai kitab yang pasti benar selain AlQur’an.

Sehingga, syiah tidak memiliki kitab hadits dengan status “shahih” seperti halnya Sunni yang meyakini kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagai 100% shahih.

Dalam pandangan syiah, semua kitab-kitab hadits Syiah hanya diyakini sebagai KUMPULAN HADITS yang semua harus ditelaah keshahihannya dan semua layak dikritisi.

Jadi tidak ada istilah kitab hadits shahih dalam syiah. Semua hadits yang ada dalam kitab-kitab hadits harus selalu terlebih dahulu diuji kesahihannya.

Sebagai contoh, hasil penelitian dari Sayyid Ali Al Milani menyatakan bahwa lebih dari setengah hadits pada kitab Al Kulaini adalah hadits yang dho’if (lemah).

Dengan demikian, berbagai fitnah-fitnah keji yang sering dilontarkan kaum anti-syiah sebagai ajaran syiah dengan argumen bahwa itu berasal dari hadits-hadits shahih syiah … sama sekali tidak dapat diterima akal.

4. Tentang Rukun Iman Syiah

Salah satu tuduhan berat yang dialamatkan kepada kaum Syiah adalah kesesatan akidahnya. Dikatakan bahwa Syiah hanya memiliki lima Rukun Iman, yaitu:
1. Tauhid,
2. ‘Adalah (keadilan Allah),
3. Kenabian,
4. Imamah,
5. Ma’ad (hari kiamat).

Sebaliknya, kaum Sunni meyakini rukun iman berjumlah enam: iman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-Nya, kepada nabi-Nya, kepada qadha dan qadar, serta iman kepada hari akhir.

Lalu, dari perbedaan itu, dikatakan bahwa orang-orang Syiah dipandang “bukan Islam”.

Perlu diketahui, bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia saat ini adalah sebuah formula/rumusan yang disusun oleh para ulama teologi Asy’ariyah.

Tetapi tak dapat dipungkiri, bahwa teologi Asy’ariyah hanyalah salah satu aliran dari banyak himpunan aliran lain yang ada dalam mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Misalnya, ada aliran teologi Maturidiyah. Juga ada aliran Mu’tazilah. Masing-masing aliran ini juga memiliki rumusan formula tersendiri tentang Rukun Iman dan Rukun Islam nya, yang juga berbeda dengan rumusan teologi Asya’riyah.

Ahlul Hadis dan teologi Salafi yang menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan rinci tentang akidah yang juga berbeda dengan Asy’ariyah.

Jadi hal paling penting untuk digarisbawahi adalah: jika ada bagian keimanan yang tidak dimasukkan ke dalam formula atau rumusan sebuah rukun iman, bukan berarti bahwa bagian tersebut tidak diimani oleh para pengikut aliran tsb. Hanya saja, rumusan formulanya memang berbeda.
Contohnya …

Dalam rukun iman Sunni tercantum iman kepada kitab-kitab suci, sedangkan di dalam rukun Syiah tidak tercantum. Apakah Syiah tidak mempercayai kitab suci?

Tentu saja tidak demikian. Orang-orang Syiah jelas meyakini keberadaan kitab-kitab suci dan bahwa kltab-kitab suci tersebut diturunkan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasulnya.

Hanya saja Syiah tidak mencantumkannya secara tersendiri, tapi memasukkannya ke dalam sub-bagian dari nubuwwah (kenabian), yaitu nubuwah para Nabi terdahulu, dan Nabi terakhir Muhammad SAW.

Hal yang sama juga berlaku pada keimanan pada malaikat dan qadha/qadar. Syiah percaya bahwa malaikat ltu memang ada dan mereka masing-masing punya sejumlah tugas.

Syiah juga percaya bahwa Allah punya ketetapan yang tidak mungkin bisa dilawan oleh siapapun. Hanya saja, Syiah memasukkan bahasan tentang hal ini pada sub-bagian bab pembahasan pilar yang lainnya.

Ibaratnya, ada dua penulis yang sama-sama menulis buku tentang ‘sumber daya alam’. Penulis A sangat mungkin membagi pembahasan dalam 15 bab, sementara penulis lain menulis 10 bab. Oleh penulis A, topik tentang ‘minyak bumi’ dijadikan pembahasan tersendiri di bab ke-5, sementara penulis B hanya memasukkan ‘minyak bumi’dalam salah satu sub-bab di bab 4.

Sunni membatasi rukun iman hanya kepada enam perkara. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa Sunni tidak percaya kepada hal-hal yang lain.

Ketika Sunni hanya memasukkan adanya ketetapan Allah sebagai rukun iman, bukan berarti mereka menolak sifat-sifat Allah yang lain seperti Mahatahu, Mahahidup. dan Mahaabadi.

Sunni juga tidak memasukkan kepercayaan terhadap alam kubur dan kefanaan dunia dalam rukun iman mereka, meskipun jelas sekali bahwa mereka meyakininya.

Jadi … sekali lagi … sekadar tidak memasukkan suatu kepercayaan ke dalam rukun iman, bukan berarti tidak mempercayainya. Itu point utama yang perlu kita sadari.

5. Tentang Rukun Islam Syiah

Kasus yang sama juga berlaku pada rukun lslam-nya orang Syiah. Isu yang dihembus-hembuskan adalah, orang Syiah punya rukun Islam yang berbeda, yaitu:
1. Shalat,
2. Puasa,
3. Zakat.
4. Haji,
5. Wilayah.

Pertanyaannya, apakah orang Syiah tidak bersyahadat? Tentu saja mereka bersyahadat.

Silakan telaah buku-buku tuntunan cara beribadah orang-orang Syiah. Pasti akan mendapati bahwa pembacaan Syahadatain (dua kalimat syahadat) merupakan salah satu kewajiban di dalam salat. Syahadatain juga wajib dibaca oleh khatib salat Jumat.

Penelaahan yang seksama terbadap bab-bab fikih orang Sy‘iah (bukan hanya bersandarkan kepada ‘katanya’) akan menuntun kita pada pemahaman bahwa apa yang dipercayai oleh orang Sunni sebagai pilar keislaman juga dipercayai oleh orang Syiah.

Orang Syiah juga percaya kepada ajaran amar makruf nahi munkar, munakahat (pernikahan), waqaf, jihad, mu’amalah. hukum warisan, thaharah, mengurus jenazah, dan lain sebagainya. Semuanya sama.

Seandainyapun ada perbedaan dalam tata cara, perbedaan tersebut amat sangat sedikit. Tapi, bukankah di antara mazhab fikih Sunni sendiri (Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) sendiri ada banyak perbedaan dalam hal tata cara beribadah?

6. Tentang Nikah Mut’ah

Salah satu fitnah paling besar tentang syiah adalah terkait isu nikah mut’ah. Dalam fitnah yang sering disebarluaskan, dikatakan bahwa syiah telah menghalalkan zina, karena dianggap nikah mut’ah sama dengan zina.

Padahal mereka yang memfitnah itu juga mengetahui bahwa dalam keyakinan semua mazhab, DULU Rasulullah saww pernah menghalalkan nikah mut’ah. Nah, logika sederhananya, jika dulu nikah mut’ah pernah dihalalkan apakah mungkin nikah mut’ah itu sama dengan zina, apalagi bahkan zina dengan istri orang lain?

Tanpa disadari, tudingan itu itu sama saja dengan menuduh Rasulullah saww pernah membolehkan zina. Nauzubillah! Itu benar-benar sama saja melakukan fitnah yang sangat besar pada Rasulullah saww.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan bin Muhammad dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Al-Akwa’ kedua-nya berkata, “Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah (utusan) Rasulullah Saw, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.’ (bisa dibaca dalam Imam Al-Bukhari, hadits 5115-7, kitab Al-Nikah, bab Nahy Rasulillah saw ‘an Nikah Al-Mut’ah Akhiran; dan Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, hadits 3302-5, kitab Al-Nikah, bab Nikah Al-Mut’ah)

Itulah fakta sejarah yang diungkapkan dalam kitab-kitab Sunni, bahwa pada masa Nabi saww (hingga masa kekhalifahan Abu bakar), nikah mut’ah dilakukan oleh para sahabat nabi.

Pernikahan mut’ah ini mulai dilarang pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, dimana beliau berpidato di hadapan khalayak:

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan Alquran adalah Alquran ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya. Salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” (baca dalam Muhammad Fakhr Al-Din Al-Razi, Tafsir Al-Fakhr Al-Razi, juz 10, h. 51, QS. Al-Nisa’ [4]:24, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 1981 M, 1401 H)
Mengapa syiah menghalalkan nikah mut’ah? Alasannya karena syiah berpandangan bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh AlQuran maka hukumnya tidak boleh berubah (diubah) oleh siapapun, sampai hari kiamat.

AlQuran menetapkan dalam surat An-Nisa ayat 24:

Dan orang-orang yang mencari kenikmatan (istamta’tum, dari akar kata yang sama sebagai mut’ah) dengan menikahi mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban …. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 24)

AlQuran adalah sumber hukum tertinggi dan karenanya tidak dapat dihapuskan dengan hukum yang lebih rendah (misalnya oleh ijtihad sahabat atau fatwa khalifah).

Itulah sikap syiah terhadap nikah mut’ah. Argumennya adalah hukum yang ditetapkan Allah swt dan Rasulullah saww tidak boleh diubah oleh manusia (sekalipun oleh fatwa khalifah).

Lalu, juga perlu disadari, bahwa hukum nikah mut’ah ini hanya “Boleh”. Bukan “mustahab (sunnah)” apalagi “wajib”, seperti yang sering ditudingkan kepada syiah.

Karenanya sekalipun syiah menghalalkan nikah mut’ah, bukan berarti otomatis semua orang syiah mengamalkannya. Ini lebih ke persoalan menegakkan posisi hukum dalam Islam, karena hukum harus mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi manusia.

Dan lagi pula, nikah mut’ah itu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Ada syarat-syarat dan ketentuannya seperti halnya dalam nikah daim (permanen), seperti harus ada izin dari wali (ayah), harus ada akad dan mahar, ketika terjadi perceraian ataupun batasan waktu pernikahan sudah berakhir, masa iddah nya adalah selama 2 kali siklus haid, dsb.

Lebih lengkap penjelasan tentang nikah mut’ah ini bisa baca pada tulisan berikut ini.

7. Tentang Abdullah bin Saba Yang Disebut-Sebut Sebagai Pendiri Syiah

Sosok ini banyak diyakini sebagian umat Islam awam sebagai pendiri Syiah, yaitu seorang Yahudi yang bertujuan memecah belah umat Islam.

Padahal dalam Syiah sendiri, sosok ini tidak pernah disebut-sebut atau dirujuk atau diingat-ingat, baik dalam semua kitab Syiah maupun dalam pembicaraan para ulama Syiah.

Kalau memang orang ini ada dan merupakan pendiri, tentunya perkataannya akan selalu dirujuk dan dijadikan pedoman oleh Syiah. Namanya pun mestilah akan termaktub dalam berbagai riwayat sebagaimana layaknya seorang pendiri dalam berbagai aliran atau madzhab semisal madzhab Hanafiah, atau Maliki atau Syafi’i ataupun Hambali.

Syiah terkenal sangat menghormati para Wali dan Imam nya; dan mewujudkannya dalam bentuk ziarah-ziarah. Tentunya, apabila memang sosok ini ada apalagi sebagai pendiri, harus lah jelas dimana makamnya dan bagaimana riwayatnya sehingga layak untuk diziarahi dan diingat-ingat, baik ketika lahirnya maupun wafatnya. Pada faktanya, sosok ini sangat tidak jelas.

Terlepas dari fakta yang ada, perlu kiranya disampaikan 3 hal utama terkait Abdullah bin Saba sebagai sosok yang patut diragukan keberadaannya:

Kesimpangsiuran informasi, sehingga tidak jelas siapakah sebenarnya sosok ini. Menurut Ibn Hazm dan Syahrastani, sosok ini sebenarnya bernama Ibnu Sauda. Tetapi Ibn Thahir Al Bagdadi dalam kitabnya ‘Al-Farqu Bainal Firaq’, dan Al Asfaraini dalam kitabnya ‘At-Tabsyirah fid-Diin’ menyebutkan bahwa Ibnu Sauda bukanlah Abdullah bin Saba.
Demikian pula dengan asal muasalnya. Di kitab lain dikatakan berasal dari San’a Yaman, sedangkan di kitab lain, disebut berasal dari Hira. Kemunculannya di satu kitab dikatakan pada zaman Ustman bin Affan, di kitab lain dikatakan pada zaman pemerintahan Ali.
Ajaran-ajarannya yang termaktub dalam berbagai kitab juga berbeda-beda. Di satu kitab dikatakan dia mengajarkan bahwa Muhammad akan hidup kembali. Di kitab lain, Ali lah yang akan hidup kembali. Di kitab lain, dia mengajarkan bahwa Ali adalah tuhan seutuhnya tetapi di kitab lain disebutkan bahwa dia mengatakan adanya sebagian sifat Tuhan pada diri Ali.
Dari ajaran yang serba tidak jelas itu, apalagi menyangkut akidah maka jelas menunjukkan bahwa sosok ini, kalaupun benar ada, bukanlah orang yang layak diikuti oleh syiah.

Lalu, dari mana datangnya cerita Abdullah bin Saba ini? Riwayat tentang sosok ini berasal dari kitab Tarikh Thabari melalui 2 orang sebagai narasumbernya yaitu Saif bin Umar Attamimi dan As-Surri bin Yahya.

Tetapi ternyata dari berbagai kitab tentang biografi para perawi telah disebutkan bahwa Saif bin Umar adalah seorang periwayat palsu, tidak bisa dipercaya, zindiq, munkar dan lemah (Ibnu Hayyan, Al-Hakim An-Naisaburi, Ibnu Addiy, Ibnu Mu’in, Abu Dawud, An-Nasa’I dan As-Suyuthi).

Penilaian tsb juga berlaku untuk As-Surri bin Yahya yang bahkan disebut sebagai Al-Kadzdzab (tukang bohong) oleh para ulama hadits terkenal.

Dari berbagai fakta itu, jelaslah bahwa tuduhan/fitnah syiah didirikan oleh Abdullah bin Saba sama sekali tidak masuk akal dan terbantahkan dengan sangat mudah.

8. Tentang Sikap Taqiyyah Yang Dilakukan Syiah

Taqiyyah adalah menyembunyikan keyakinan yang dianutnya dengan menampakkan sikap lahiriah yang berbeda, disebabkan oleh adanya alasan-alasan yang membahayakan jiwa atau hartanya, baik dirinya ataupun orang lain.

Hal ini umumnya terpaksa dilakukan kaum syiah yang berada di wilayah-wilayah yang “tidak aman” untuk memperlihatkan keyakinan syiahnya (terancam dibunuh, terancam harta dan rezkinya, dlsb).

Beberapa dalil bolehnya bertaqiyyah, tertulis dalam al-quran, misalnya:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka….” (Qs Ali Imran [3]: 28)

dan ayat

“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Qs Al-Nahl [16]: 106)

Ada beberapa contoh dalam sejarah yang membuktikan bahwa melakukan taqiyyah merupakan bagian dari ajaran Islam. Diantaranya yang terkenal adalah taqiyyah yang dilakukan oleh Asiyah (istri Fir’aun) yang menyembunyikan keyakinannya di hadapan Fir’aun.

Selain itu juga terkenal sekali kisah bagaimana salah satu sahabat Nabi saww bernama Ammar bin Yasir yang terpaksa taqiyyah karena terancam terbunuh padahal hatinya penuh dengan keimanan.

9. Tentang Syahadat Syiah

Syiah meyakini bahwa syahadat merupakan ikrar yang paling penting dalam Islam. Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah bukti seseorang telah mengucapkan ikrar yang agung dan pertanda perubahan keimanannya untuk menjadi seorang muslim.

Syiah tidak mengakui adanya tambahan lain atas teks syahadat sebagaimana ijmak kaum muslimin. Tambahan teks “wa ‘Aliyyan waliyyullâh” sama sekali tidak ditemukan dalam buku-buku rujukan Syiah.

Bahkan, penambahan teks tersebut, sebagaimana yang dituduhkan kepada Syiah dalam azan, adalah bid’ah menurut jumhur ulama Syiah.

Sebagian perilaku awam yang menambahkan kalimat sebagaimana yang dituduhkan sebagai syahadat syiah yang beda dengan syahadat sunni … tidaklah dapat dijadikan sebagai dasar, karena perilaku awam bukanlah sumber hukum atau pun otoritas yang dapat dipegang dalam menilai mazhab mana pun.

Bahkan, di dalam Kitab Wasâil Al-Syi’ah bab 19 tentang azan dan ikamah disebutkan larangan untuk menambah teks “wa ‘Aliyyan waliyullâh” dalam azan.

Bahkan, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang dimasukkan dengan tidak sahih dalam kitab-kitab Syiah. Hal yang sama disebutkan dalam semua referensi Syiah lain.

Dalam pandangan syiah juga, siapapun kaum muslimin ahlus sunnah wal jamaah (sunni) yang memilih mazhab syiah, maka ia tidak perlu melakukan syahadat lagi. Sebab dalam syiah, semua muslimin sunni adalah sudah beragama Islam. Karena itulah ia tidak perlu ber syahadat lagi.

10. Tentang Peringatan Asyura 10 Muharram

Asyura bukanlah hari raya, melainkan hari duka cita.

Asyura adalah peristiwa pembantaian keluarga Nabi saww di suatu tempat bernama Karbala, Irak selatan. Peristiwa ini berlangsung pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriah, sekitar 50 tahun setelah wafatnya Nabi.

Peristiwa asyura disebut sangat tragis karena beberapa hal berikut ini :

Perang terjadi antara kafilah keluarga Nabi Muhammad SAWW melawan 30.000 pasukan yang semuanya adalah orang Islam. Pasukan itu sendiri dipimpin oleh Umar, putera dari Sa’ad bin Abi Waqqash, salah seorang sahabat besar Nabi. Artinya, saat itu orang-orang Islam melakukan pembantaian terhadap anak-keturunan dari nabi mereka sendiri.
Rombongan keluarga Nabi sempat disiksa rasa haus selama tiga hari sebelum akhirnya dibunuh. Pasukan Umar memblokade sungai Eufrat sehingga keluarga Nabi tidak bisa mengambil air minum.
Jenazah Al Husayn dan rombongannya dimutilasi. Kepala mereka dipenggal dan ditancapkan diatas tombak. Lalu, kepala-kepala itu diarak ke Kufah dan ke Syam (Suriah) untuk dipersembahkan kepada Yazid bin Muawiyah.
Sisa rombongan keluarga Nabi yang masih hidup yaitu para wanita dan 2 pria yang tidak berdaya, digiring dan dirantai. Mereka diharuskan mengikuti arak-arakan kepala yang ditancapkan di atas tombak, untuk dipertontonkan kepada umat Islam di kota-kota yang dilewati.
Hal-hal diatas adalah fakta yang disepakati kebenaran peristiwanya baik oleh sejarawan Sunni maupun Syiah.

Nah, para muslim Syiah memperingati peristiwa Asyuro tsb terutama memperingati syahid nya Imam Husain as, sama seperti sebagian umat Islam menyelenggarakan acara HAUL tokoh-tokoh atau ulama-ulama dalam rangka mengenang keteladan dari tokoh yang ia peringati.

Apabila umat Islam sunni sering mengadakan haul setiap tahun untuk berbagai tokoh ulama-ulama, lalu mengapa kaum syiah tidak boleh mengadakan haul untuk memperingati syahid nya penghulu para syuhada, Imam Husain as? Itulah yang dimaksud dengan peringatan Asyura.

11. Tentang Melukai Diri Sendiri Dalam Acara Duka

Melukai diri sendiri? Apakah benar? Bagaimana yang sebenarnya?

Mayoritas ulama Syiah berfatwa bahwa melukai diri (qameh zani) dalam acara-acara asyuro maupun hari-hari duka cita adalah pebuatan haram dan bertentangan dengan agama.

Tak kurang dari Ayatullah Bagir Shadr, Imam Khomaini, Ayatullah Ali Khamenei, Ayatulah Ali Sistani, Ayatullah Jawadi Amuli, Ayatullah Makarim Syirazi, Ayatullah Mazaheri Isfahani, Ayatullah Kazim Haeri dll … semua berfatwa mengenai keharaman melukai diri sendiri.

Mengapa fatwa seperti itu harus dkeluarkan? Karena faktanya memang pernah ada sekelompok kecil kaum syiah yang ekstrem melakukan qameh zani tsb, misalnya di wilayah Pakistan, yang foto mereka itulah yang terus menerus disebarkan hingga sekarang.

Bagi mereka yang pernah bermukim di Iran, Irak dan Lebanon, dengan gambling akan berkata, bahwa mereka tidak menjumpai tindakan qameh zani tersebut.

Juga di banyak Negara termasuk Indonesia. Dalam acara duka cita asyuro, paling banter hanya menepuk-nepuk dada sebagai symbol duka cita.

12. Tentang Imamah (Kepemimpinan Setelah Nabi saww)

Dalam Keyakinan Sunni:

Rasulullah saww tidak dengan jelas menunjuk penggantinya.
Namun demikian, beberapa peristiwa dimaknai sebagai petunjuk beliau bahwa penggantinya adalah Abu Bakar, yaitu:
– Mengajak Abu Bakar untuk menemaninya hijrah dari Mekah ke Madinah
– Menikahi anaknya
– Memintanya mengimami shalat disaat beliau sedang sakit parah

Sedangkan dalam Keyakinan Syiah:

Rasulullah saww telah dengan jelas dan tegas menunjuk penggantinya.
Sebagai pemimpin yang baik, terutama demi pentingnya menjaga kemurnian ajaran Islam, maka tidak mungkin beliau meninggalkan umatnya begitu saja.
Berbagai riwayat yang juga ada dalam kitab-kitab Sunni telah menunjukkan hal ini dengan jelas, bahwa beliau telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya.

Fakta-fakta seputar kelayakan Ali bin Abi Thalib menjadi pengganti Rasulullah saww:

Kerabat terdekat Rasulullah saww, baik sebagai sepupu maupun mantu.
Terdahulu masuk Islam (as Saabiquunal Awwalun).
Pahlawan perang, sampai ada pepatah Arab “Tidak ada pemuda setangguh Ali, tak ada pedang sesakti Dzulfiqar” (Dzulfiqar adalah pedang Ali dalam setiap peperangan).
Paling berilmu, sehingga mendapat julukan Babul ‘ilm atau Pintu Ilmu sesuai hadits beliau SAWW, “Aku adalah Kota Ilmu dan Ali adalah gerbangnya. Siapa yang mau memasuki sebuah kota, hendaknya dia masuk lewat pintunya”.
Imam Kaum Sufi, sehingga dikenal sebagai Divine Wisdom (imam dalam Ilmu Hikmah) dan Spiritual Warriorship (Futuwwah). Hampir semua tarekat bermuara kepada ajaran Ali dan para pendirinya adalah keturunannya, antara lain Syekh Abdu Qadir Jaelani, pendiri tarekat Qadiriah. Penghormatan kaum sufi kepada Ali sangat tinggi sehingga beliau mendapat julukan Karamallahu Wajhahu (Semoga Allah memuliakan wajahnya).
Orang Arab terfasih setelah Rasulullah SAWW, sehingga Ibn Abil Hadid (ulama dan sastrawan terkenal Mu’tazilah di abad ke-7 menyusun buku berjudul “Syarah Nahjul Balaghah” dengan kata pengantar: ”Demi Yang Maha Benar, perkataan Ali di bawah firman Khaliq dan diatas perkataan makhluk. Masyarakat bisa belajar disiplin ilmu retorika dan penulisan dari Ali.”
Keterpesonaan atas kefasihan Ali ini juga diutarakan oleh Syaikh Muhammad Abduh dalam buku Syarahnya atas Nahjul Balaghah: “Tak seorangpun dari suku Arab yang tidak meyakini bahwa setelah Al Qur’an dan sabda Nabi SAW, ucapan Ali adalah yang termulia, terfasih, paling berbobot, dan juga paling komprehensif”.
Khalifah ke-4 yang diangkat umat secara ber ramai-ramai menjadi Khalifah setelah Utsman bin Affan. Ketegasan Ali dalam memimpin umat menimbulkan perlawanan yang mendorong terjadinya 3 peperangan, yaitu perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawan.
Makna kata syiah sebenarnya dalam bahasa Arab berarti ‘pengikut’. Namun dalam perjalanan waktu, kata ini kemudian dijadikan label bagi umat Islam yang meyakini bahwa pengganti Rasulullah SAWW adalah Ali dan memutuskan untuk memilih Ali sebagai pemimpinnya.

Konsekuensi dari pilihan ini adalah lebih mengutamakan pendapat dan ajaran Rasulullah saww yang disampaikan oleh Imam Ali as untuk diikuti dalam menjalankan ajaran Islam.

13. Tentang Peristiwa Ghadir Kum

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10H yang diriwayatkan juga di berbagai kitab Sunni sebagai peristiwa yang benar terjadi dalam sejarah Islam (Ath Thabari, Al Hamedani dan Al Bahgdadi) dan atas dasar hadits mutawattir (Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hajar, Jazari Asy Syafi’i, As Sajestani dan An Nasa’i), dengan perawi dari kalangan para sahabat yang jumlahnya beragam sampai 110 orang (catatan Allamah Amini dari berbagai kitab hadits Sunni).

>> Dalil Hadits Ghadir Khum Lengkap Beserta Ulasannya

Perbedaan yang diyakini atas peristiwa itu terletak pada kata “Maula” yang diucapkan Rasulullah SAWW ketika mengangkat tangan Ali dihadapan umatnya di lembah (Ghadir) bernama Rabigh atau Khum, sejauh 3 mil dari Juhfah, setelah terlebih dulu mengumpulkan umatnya sepulang dari berhaji di Mekah menuju Madinah.

Sebelumnya, Allah SWT terlebih dulu menurunkan ayat 67 Surah Al Maidah: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) engkau tidak menyampaikan Risalah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Maka saat itu di siang hari terik memanggang padang sahara, beliau SAWW memanggil jamaah haji yang sudah terlanjur berada di depan dan yang di belakang ditunggu sampai semua berkumpul.

Kemudian setelah shalat berjama’ah, beliau SAWW berpidato tentang akidah, diatas mimbar yang terdiri dari tumpukan pelana unta. Usai berpidato, beliau SAWW menyampaikan: “Aku tinggalkan dua pusaka yang berharga, yaitu Al Qur’an dan Ahlul Bait”.

Kemudian memanggil Ali dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga terlihat bagian putih dari lengan bawah kedua nya, serta melanjutkan: “Allah adalah Pemimpin (Maula) ku dan aku adalah pemimpin (maula) bagi orang-orang yang beriman. Aku lebih utama bagi kaum mukminin dibandingkan diri mereka sendiri. Maka, siapa saja yang menjadikan aku sebagai pemimpin (maula) nya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya juga”.

Usai beliau membubarkan jemaahnya, turunlah ayat 3 surah Al-Maidah: “Hari ini, Aku sempurnakan agama kalian, Kucukupkan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku rela Islam menjadi agama kalian”.

Hanya sedikit ulama Sunni yang menyangkal terjadinya peristiwa tersebut. Hanya saja, kata Maula yang diucapkan beliau SAWW dimaknai bukan sebagai pemimpin, tetapi hanya sebagai “orang yang dicintai”.

Adapun Syiah meyakini kata Maula tersebut adalah bermakna pemimpin. Karena itu peristiwa Ghadir Kum ini juga dirayakan setiap tahun oleh masyarakat Syiah sebagai salah satu hari raya, selain hari raya Ied Fitri dan Ied Adha.

14. Tentang Syiah dan NKRI

Kaum Muslim Syiah bukanlah orang asing atau “pendatang baru” di bumi Indonesia. Sejak tahun 800an masehi, mazhab Syiah sudah masuk ke Nusantara.

Jejak-jejak peninggalannya sangat banyak dan kuat, antara lain :

Tarian Ma’atenu di Maluku tengah yang gerakannya persis sama dengan tarian dalam tradisi Syiah untuk memperingati tragedi Karbala.
Upacara Mahoyak Tabuik (mengiringi keranda) yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Bengkulu dan Padang Pariaman. Upacara terebut digelar setiap tgl 10 Muharram untuk memperingati hari duka di Karbala.
Upacara tradisional “Satu Suro” di jawa tengah. Suro berasal dari kata Asyuro, artinya 10 Muharram. Adanya semacam larangan tak tertulis dan kebiasaaan masyarakat untuk tidak membuat acara-acara gembira pada bulan suro adalah simbol keikutsertaan masyarakat atas duka cita pembantaian keluarga Nabi di Karbala.

Syiah tidak pernah menjadi musuh NKRI. Alih-alih menjadi musuh, justru jadi pendukung NKRI yang sangat kuat.
Syiah tidak mempunyai ideologi mengganti dasar Negara Pancasila, tidak pernah menjadi teroris ataupun pengebom bunuh diri.

Syiah meyakini bahwa Pancasila adalah akad kebangsaan yang harus ditaati sebagai komitmen berbangsa dan bernegara.

Faktanya, justru kelompok-kelompok yang secara terbuka memperlihatkan kebencian kepada Syiah adalah kelompok yang menginginkan penggantian ideologi Pancasila, melakukan terorisme baik di dalam maupun di luar negeri yang tentunya semua itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan komitmen kebangsaan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here